Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier . Ujian Semester 2 (UAS / UKK) Biologi SMA Kelas 11 Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier KunciJawaban dan Pembahasan Soal Biologi SMA XI IPA Semester 2. 1. Asfiksi adalah salah satu gangguan pernapasan pada manusia. Hal ini disebabkan oleh . 2. Antigen asing disintesis oleh . 3. Hati merupakan salah satu alat ekskresi yang menghasilkan zat sisa . 4. Signallingparakrin, merupakan komunikasi antar sel jarak pendek. Sel signal mensekresi molekul sinyal targetnya pada sel­-sel yang berdekatan dengan sel sinyal. Misalnya epinefrin merupakan neutotransmiter yang dilepaskan oleh satu sel saraf ke sel saraf lainnya atau sel saraf ke efektor pada otot rangka (merangsang atau menghambat konstraksi). Calcifaradalah suplemen dengan kandungan kalsium. Obat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan mencegah serta mengatasi berbagai penyakit yang mungkin terjadi akibat tubuh kekurangan kalsium. Ketahui selengkapnya tentang Calcifar mulai dari manfaat, efek samping, dosis, petunjuk penggunaan, dan lainnya melalui artikel ini! uOZwSo. Parenteral adalah metode pemberian nutrisi, obat, atau cairan melalui pembuluh darah. Metode ini sering kali dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi pencernaan, seperti malabsorpsi, atau pasien yang baru menjalani operasi saluran cerna. Tubuh mendapatkan nutrisi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Makanan dan minuman tersebut kemudian akan melalui proses pencernaan di dalam tubuh. Namun, sistem pencernaan terkadang bisa mengalami gangguan, sehingga kemampuannya dalam mencerna dan menyerap nutrisi menjadi terganggu. Ketika hal tersebut terjadi, tubuh akan sulit memperoleh nutrisi penting, seperti karbohidrat, Lama-kelamaan, tubuh bisa mengalami kekurangan nutrisi. Untuk mencegah dan mengatasi masalah ini, Anda bisa mendapatkan asupan nutrisi secara parenteral dari dokter. Selain untuk memberikan nutrisi dan cairan, metode parenteral juga bisa dilakukan untuk memberikan obat-obatan melalui suntikan ke pembuluh darah atau infus. Cara pemberian obat seperti ini biasanya dilakukan pada pasien yang sulit atau tidak bisa menelan, atau memiliki gangguan pencernaan. Beberapa Kondisi yang Membutuhkan Pemberian Nutrisi Parenteral Pemberian nutrisi parenteral akan disesuaikan dengan kondisi pasien secara keseluruhan, jenis nutrisi yang diperlukan, dan penyakit yang diderita. Sebagian pasien bisa mendapatkan nutrisi parenteral selama beberapa waktu saja, tetapi ada pula pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral seumur hidupnya. Berikut ini adalah beberapa kondisi yang membuat seseorang perlu mendapatkan nutrisi parenteral Kanker pada saluran pencernaan, misalnya kanker lambung dan kanker usus besar Penyakit radang usus, seperi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif Riwayat operasi pada usus Gangguan pada aliran darah atau iskemia Penyumbatan di usus, misalnya ileus obstruktif Malabsorpsi Kesulitan menelan atau disfagia Pemberian nutrisi parenteral juga bisa dilakukan pada bayi yang tidak dapat mencerna nutrisi dari ASI atau susu formula dengan baik, seperti pada kondisi necrotizing enterocolitis atau NEC. Prosedur Pemberian Nutrisi Parenteral Pemberian nutrisi parenteral dilakukan melalui suntikan atau infus. Secara umum, ada dua jenis metode pemberian nutrisi secara parenteral, yaitu Nutrisi parenteral total total parenteral nutrition/TPN Metode pemberian nutrisi parenteral ini dilakukan pada pasien yang sama sekali tidak bisa mencerna seluruh jenis nutrisi, sehingga seluruh asupan nutrisinya diberikan sepenuhnya melalui infus. Nutrisi parenteral parsial partial parenteral nutrition/PPN PPN umumnya dilakukan dalam jangka waktu pendek pada pasien dengan kondisi dehidrasi atau memiliki kesulitan mencerna nutrisi tertentu malabsorpsi. Efek Samping dan Risiko Pemberian Nutrisi Parenteral Meski bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan tubuh, pemberian nutrisi secara parenteral juga dapat menimbulkan beberapa risiko dan efek samping berikut ini Infeksi, biasanya pada pembuluh darah vena Pembengkakan di tangan, tungkai, wajah, atau di organ tertentu, seperti paru-paru Sesak napas Gangguan elektrolit Gula darah naik berlebihan hiperglikemia atau justru menurun terlalu drastis hipoglikemia Demam dan menggigil Pembekuan darah Gangguan fungsi hati Masalah pada empedu, misalnya pembentukan batu empedu atau radang empedu Berkurangnya kepadatan tulang, terutama pada pemberian nutrisi parenteral jangka pajang Untuk mengantisipasi dan mencegah efek samping tersebut, dokter akan memantau kondisi pasien selama memberikan nutrisi, obat, atau cairan secara parenteral. Apabila efek samping yang muncul berpotensi membahayakan pasien, dokter akan menghentikan atau mengurangi pemberian nutrisi atau obat secara parenteral selama beberapa waktu hingga kondisi pasien membaik. Jika kondisi Anda memerlukan pemberian nutrisi parenteral, jangan ragu untuk bertanya kepada dokter mengenai manfaat, risiko, jangka waktu, dan hal-hal yang perlu dilakukan selama mendapatkan penanganan tersebut. Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut terindikasi dari tingginya prevalensi stunting serta dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan review ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age yang menyebabkan kejadian stunting pada balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pencarian secara sistematik dari literature 2015-2020 menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Kata kunci pencarian pemberian nutrisi, masa golden age, balita, stunting, negara berkembang. Peneliti memperoleh 28 artikel final yang dianalisis sesuai kriteria. Hasil menggambarkan faktor penyebab kejadian stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut, inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali, pemberian ASI terhenti Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1764 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 Volume 5 Issue 2 2021 Pages 1764-1776 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini ISSN 2549-8959 Online 2356-1327 Print Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang Meri Anggryni1, Wiwi Mardiah2, Yanti Hermayanti3, Windy Rakhmawati4, Gusgus Graha Ramdhanie5, Henny Suzana Mediani6 Keperawatan Anak, Universitas Padjadjaran DOI Abstrak Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut terindikasi dari tingginya prevalensi stunting serta dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan review ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age yang menyebabkan kejadian stunting pada balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pencarian secara sistematik dari literature 2015-2020 menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Kata kunci pencarian pemberian nutrisi, masa golden age, balita, stunting, negara berkembang. Peneliti memperoleh 28 artikel final yang dianalisis sesuai kriteria. Hasil menggambarkan faktor penyebab kejadian stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut, inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali, pemberian ASI terhenti 12 bulan, dan makanan yang diberikan tidak bervariasi dengan frekuensi dan tekstur yang tidak sesuai usia. Kata Kunci balita; indonesia; masa golden age; negara berkembang; pemberian nutrisi; stunting Abstrak Stunting is a major health problem that can hinder the future of the nation. This is indicated by prevalence of stunting and its adverse effects. The purpose of this review is to identify the nutritional factors during the golden age that cause stunting in children under five in developing countries, including Indonesia. Systematic search of the 2015-2020 literature using Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Keyword search nutrition, golden age, toddler, stunting, developing countries. The researcher obtained 28 final articles which were analyzed according to the criteria. The results describe the factors that cause stunting occurring since pregnancy due to nutritional deficiencies at that time, early initiation of breastfeeding less than 1 hour of birth or not , stopping breastfeeding 12 months, and the food given did not vary with frequency and texture that was not age-appropriate Keywords developing countries; golden age; nutrition practice; stunting; toddlers. Copyright c 2021 Meri Anggryni, Wiwi Mardiah, Yanti Hermayanti,Windy Rakhmawati, Gusgus Graha Ramdhanie, Henny Suzana Mediani  Corresponding author Email Address Bandung, Indonesia Received 14 December 2020, Accepted 31 December 2020, Published 9 Januari 2021 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1765 PENDAHULUAN Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut diindikasikan berdasarkan standar WHO, yakni 20% atau seperlima dari jumlah total balita. Berdasarkan prevalensi secara global, terdapat sebanyak 22,9% atau 154,8 juta anak balita dengan kasus tersebut dan menjadi 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di tahun 2017. Kondisi tersebut terpusat di negara miskin 35,2% dan negara berkembang 22,4%, yang tersebar di Asia dengan prevalensi 56% dan Afrika 39%. Kondisi demikian kebanyakan ditemukan di negara berkembang dari kedua benua, dimana dari 88 negara dengan kasus tertinggi, empat diataranya merupakan negara berkembang, yakni India 48%, Pakistan 42%, Nigeria 41% dan Indonesia 37% tahun 2007 [36,8%], tahun 2010[ 35,6%], tahun 2013 [37,2 %] dan tahun 2018 [30,8%] United Nations Children’s Fund [UNICEF], World Health Organitation [WHO], World Bank Group [WBG], 2018; Riset kesehatan dasar [Riskesdas], 2013-2018. Kondisi ini tidak dapat diabaikan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kesadaran pentingnya penanganan masalah ini, masyarakat dan pemerintah perlu mengetahui dampak yang ditimbulkan kondisi tersebut. Selain prevalensi tersebut, dampak akibat stunting juga dapat menghambat masa depan bangsa. Pada dampak jangka pendek, anak dapat mengalami gangguan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang, dapat menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua, meningkatkan risiko penyakit dan kematian perinatal-neonatal, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif dan akan menghasilkan rendahnya kualitas sumber daya manusia SDM yang berakibat pada rendahnya produktifitas ekonomi. Apriluana & Fikawati, 2018; Anugraheni & Kartasurya, 2012; Hossain et al., 2017; Kemenkes, 2018; Dewey & Begum, 2011; De Onis et al., 2012; Mediani, 2020; Kemenkes RI, 2016; Izwardy, 2019, Helmyati, 2019; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bapennas], 2018. Sehingga, diperlukan upaya penanganan yang serius dari berbagai pihak, untuk dapat mencegah dan mengurangi dampak yang dialami balita dengan kondisi tersebut. Sampai saat ini, pemerintah masih berupaya dalam penurunan stunting. Dimulai dari penetapan tujuan pembangunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB yang dikenal dengan The Sustainable Development Goals SDG’s yang salah satu tujuannya berupa penurunan stunting dan wasting pada balita di seluruh dunia, serta merupakan target internasional tahun 2030 United Nation Development Programme [UNDP], 2018 Sebagai bentuk realisasi, WHO 2014 dan UNICEF 2013 membuat kerangka kerja yang mengelompokkan faktor-faktor risiko kedalam tiga kelompok yakni; 1 faktor distal meliputi, politik dan ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial budaya, sistem pertanian dan makanan, serta air, sanitasi dan lingkungan; 2 intermediate factors yaitu, faktor rumah tangga yang meliputi, jumlah dan kualitas makanan yang tidak adekuat, sumber daya yang rendah, ukuran dan struktur keluarga, praktik yang tidak memadai, perawatan kesehatan yang tidak memadai, layanan air dan sanitasi yang tidak memadai, 3 faktor proksimal meliputi pemberian nutrisi, faktor ibu dan lingkungan, faktor anak, dan faktor infeksi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dapat dilakukan melalui faktor-faktor risiko langsung penyebab stunting. Namun untuk itu, dibutuhkan intervensi yang terstruktur untuk merealisasikan upaya tersebut. Sebagai bentuk keseriusan dalam pencegahan dan penanganan stunting, pemerintah membentuk dua intervensi gizi, yakni intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif TNP2K, 2017; Trihono, 2015. Intervensi gizi spesifik ditunjukkan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan. Intervensi ini merujuk pada intervensi yang langsung menangani faktor penentu gizi janin serta gizi anak, mulai dari pemenuhan nutrisi selama kehamilan hingga pemberian makanan tambahan International Food Policy Research Sience Review [IFPRI], 2016. Sedangkan, intervensi gizi sensitif ditunjukkan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sehingga, perawat sebagai ujung tombok Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1766 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 kesehatan dapat membantu percepatan penanganan kondisi tersebut dengan menyukseskan program intervensi gizi spesifik khususnya pemberian nutrisi pada masa 1000 hari pertama kehidupan Masa golden age. Namun untuk itu, perawat perlu mengetahui faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age secara komprehensif. Berdasarkan literatur, stunting dapat terjadi sejak 1000 hari pertama kehidupan, mulai dari 270 hari janin didalam kandungan sampai 720 hari pertama kelahiran Schmidt, 2014; Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI], 2015. Pada masa kehamilan, pemberian nutrisi pada janin bergantung sepenuhnya pada kecukupan gizi ibu hamil. Kondisi tersebut dinilai dari status gizi ibu hamil, yang diukur menggunakan lingkar lengan atas LILA. Pengukuran tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah ibu mengalami kekurangan gizi, khususnya kekurangan energi kronis Ferial, 2012. Menurut data Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia tahun 2013-2018, terdapat 24,2% Ibu hamil di tahun 2013 mengalami kekurangan energi kronis dan menjadi 17,3% pada 2018. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat KEK pada ibu hamil dapat mengakibatkan janin didalam kandungan mengalami kekurangan asupan nutrisi diawal kehidupan yang berdampak pada pertumbuhan janin. Pertumbuhan janin didalam kandungan melalui tiga tahapan yang terbagi kedalam tiga trimester. Pada trimester pertama, pertumbuhan janin masih lambat, peningkatan kebutuhan zat gizi masih relatif kecil. Pada tahap ini, ibu hamil memasuki masa anabolisme yaitu masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari makanan yang dikonsumsi setiap hari untuk cadangan trimester berikutnya Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Untuk itu, penting memperhatikan kandungan makanan yang dikonsumsi ibu selama fase ini. Demikian pula pada trimester kedua. Pada tahap ini, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan trimester sebelumnya. Kecepatan pertumbuhan mencapai 10 gram per hari, susunan saraf otak berkembang sampai 90%, lengan, tangan, kaki, jari dan telinga mulai terbentuk, denyut jantung janin mulai terdengar, serta penyimpanan lemak sebagai cadangan pembentuk Air Susu Ibu ASI dimulai Marmi, 2013; Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010; Almatsier, 2011. Pada tahapan ini, terjadi peningkatan kebutuhan energi untuk metabolisme tubuh janin. Sehingga, ibu dianjurkan untuk meningkatkan asupan gizi dibandingkan sebelumnya. Begitupun pada trimester ketiga. Pada masa ini, kebutuhan asupan nutrisi dari simpanan cadangan energi ibu selama tahap sebelumnya semakin meningkat. Karena pada tahap ini, janin tumbuh menjadi dua kali panjang sebelumnya dan berat badan bertambah kurang lebih lima kali dari berat semula Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Untuk itu, status gizi ibu di trimester sebelumnya harus baik, dan didukung dengan memaksimalkan kebutuhan asupan gizi di trimester ini. Setelah melalui ketiga tahapan tersebut, janin akan keluar dari rahim ibu melalui proses persalinan. Sesaat setelah proses tersebut, bayi harus segera diberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. Proses pemberian nutrisi tersebut diberikan melalui pemberian Inisiasi Menyusui Dini IMD, yakni pemberian air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah lahir. Dalam proses tersebut, bayi akan melakukan gerakan menghisap yang dapat merangsang hormon oksitoksin mengencangkan otot halus pada sekitar alveoli untuk memeras ASI menuju saluran susu IDAI, 2015. Untuk itu, pemberian inisiasi menyusui dini harus diberikan dan tidak boleh tertunda. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013-2018, pemberian nutrisi segera setelah lahir pada anak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari rata-rata bayi yang memperoleh inisiasi menyusui dini sesuai rekomendasi WHO yakni ≥1 jam setelah lahir, hanya sebanyak 15,9%. Padahal, dengan pemberian IMD bayi dapat memperoleh kolestrum, yakni ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, antibodi terhadap infeksi, pertumbuhan usus dan asupan gizi yang penting untuk pertumbuhan anak Permadi et al., 2017. Serta, dapat menstimulus ASI keluar dengan baik, dan membantu keberhasilan pemberian ASI eksklusif Apriluana & Fikawati, 2018 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1767 Memasuki usia 0-6 bulan, pemberian nutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI eksklusif. Indikasi eksklusif jika bayi hanya diberikan ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus ataupun susu, kecuali obat, vitamin dan mineral Millenium challenge count [MAC] Indonesia, 2013; IDAI, 2015. Berdasarkan literature, pemberian ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi selama 6 bulan pertama, sampai mencapai tumbuh kembang yang optimal IDAI, 2015. Sehingga, pemenuhan nutrisi pada masa ini cukup hanya dengan ASI eksklusif. Namun, hal tersebut sepertinya belum dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini terlihat dari data Riskesdas tahun 2013-2018. Dimana, hanya 21,2% bayi pada tahun 2013 yang memperoleh ASI eksklusif, dan pada tahun 2018 menjadi 37,3%. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan merugikan bayi dan keluarga. Untuk itu, diperlukan upaya dalam meningkatkan hal tersebut. Selanjutnya, pemberian nutrisi dengan ASI pada anak usia 6-12 hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi sebanyak 60%, dan 40% nya harus dipenuhi dengan makanan pendamping ASI MP-ASI. Makanan tersebut membantu bayi memperoleh energi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangannya Mufida, 2015. Pemberian makanan tambahan harus dilakukan dengan sesuai ketentuan yang ada, jika pemberian tidak tepat anak dapat mengalami kekurangan nutrisi. Pentingnya hal tersebut, sepertinya belum diperhatikan oleh masyarakat di negara berkembang. Hal ini terlihat dari hasil Riskesdas tahun 2013, terdapat 79,8% anak di Indonesia diberikan makanan tambahan terlalu dini pada usia 0-5 bulan, dan menjadi 42,3% pada tahun 2018. Hal ini tidak dapat dibiarkan, karena dapat mengakibatkan anak kekurangan asupan gizi pada anak di usia ini, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dimasa depan. Untuk itu, pemberian makanan harus dilakukan tepat waktu dan diberikan dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan anak. Berdasarkan data pemberian nutrisi tersebut, diketahui pentingnya pemberian nutrisi di tiap tumbuh kembang anak selama masa golden age. Serta, rendahnya pemberian nutrisi pada masa golden age di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini dapat menjadi indikasi tingginya prevalensi kejadian stunting pada balita di negara tersebut. Namun untuk dapat memastikan hal tersebut, dibutuhkan penelitian secara komprehensif pada faktor-faktor pemberian nutrisi dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian tentang pemberian nutrisi yang telah dilakukan sejauh ini berupa pemberian nutrisi pada masa tertentu atau terpisah, yakni pemberian nutrisi pada ibu hamil saja, pemberian IMD sampai pemberian ASI eksklusif, pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI, atau pemberian IMD sampai pemberian MP-ASI Kismul et al., 2017; Fitri & Ernita, 2019; Mediani, 2020; Nadiyah, Briawan dan Martianto, 2014. Sedangkan untuk penelitian faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang secara sistematik review belum pernah dilakukan. Untuk itu, peneliti merasa penelitian sistematik review penting untuk dilakukan, guna mengetahui faktor-faktor pemberian nutrisi dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang secara komprehensif sehingga diperoleh upaya pencegahan dan penanganan dampak stunting yang aplikatif dan efektif. METODOLOGI Merupakan sebuah penelitian sistematik review, menggunakan The Centre for Review and Dissemination and the Joanna Briggs Institute JBI Guideline sebagai panduan dalam menganalisa kualitas artikel. Penelusuran menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, dan Plos One dengan kata kunci“nutrition practice, golden age, child under five year of age, stunting. Kriteria seleksi mengikuti format PEO. Population Ibu dengan anak stunting usia 0-59 bulan. Exposure pemberian nutrisi pada masa golden age. Outcome Stunting. Penelusuran dilakukan pada artikel yang diteliti tahun 2015-2020 di negara berkembang termasuk Indonesia. Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1768 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 Alur penyeleksian menggunakan PRISMA, sebanyak 28 artikel yang memenuhi kriteria kelayakan dianalisis secara desktiptif melalui naratif sintesis dalam mensintesis hasil artikel yang diperoleh. Artikel diperoleh dari berbagai negara yang termasuk kedalam negara berkembang yakni 17 artikel dari Indonesia, 1 artikel dari Kamboja, 2 artikel dari India dan Pakistan, 1 artikel dari Thailand, 1 artikel dari Cina, 1 artikel dari Urganda, dan 1 artikel dari Armenia, serta 4 artikel dari Ethiopia. Artikel tersebut diperoleh dari jurnal Plos One 3 artikel, dan dari database Pubmed 4 artikel, Proquest 3 artikel, dan Taylor and Francis 1 artikel, serta diperoleh juga dari search engine Google Schoolar 17 artikel. Untuk artikel penelitian yang paling banyak melibatkan responden adalah penelitian yang dilakukan Cetthakrikul et al., 2018 di Thailand dengan 7018 responden anak diatas 12 bulan, dan responden paling sedikit sebanyak 40 responden dalam penelitian Prabandari et al., 2017di Indonesia. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1. Bagan 1 Alur Penelitian Melalui Proses Seleksi HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Status Gizi Ibu hamil Status gizi ibu hamil menjadi tolak ukur kecukupan gizi janin selama didalam kandungan. Hal ini dikarenakan, pemenuhan nutrisi janin selama 270 hari didalam kandungan bergantung penuh pada asupan gizi ibu. Oleh karena itu, ibu harus mampu memenuhi kebutuhan nutrisi selama kehamilan demi tercapainya tumbuh kembang janin yang optimal. Hal tersebut, sesuai dengan hasil review dari penelitian Som et al., 2018, menunjukkan praktik pemenuhan makan pada ibu hamil yang tidak memenuhi standar dan tidak meningkatkan asupan makan selama kehamilan menjadi penyebab stunting di kamboja. Records identified through databases, search engines and journal searching n Additional records identified Records after duplicates removed n =1,230 assessed for eligibility n = 36 Full-text articles excluded, Studies include criteria n=28 Records excluded n = 75 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1769 Hasil tersebut sejalan dengan Situmeang et al., 2020; Alfarisi et al., 2019 dimana terdapat hubungan signifikan antara asupan energi dan asupan protein dengan kejadian stunting di Indonesia OR=0,215; OR=0,354, dan apabila ibu mengalami kekurangan energi kronis selama kehamilan akan melahirkan anak dengan risiko 2,2 kali lebih besar mengalami stunting. Berdasarkan literatur, pemenuhan nutrisi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan berat badan normal adalah mengkonsumsi 1800 kalori pada trimester pertama, 2200 kalori pada trimester kedua, dan 2400 kalori pada trimester ketiga. Serta diperlukan penambahan energi sebanyak 150 kalori dan protein 17 gr di trimester pertama. Pada trimester kedua penambahan energi meningkat menjadi 300 kalori, protein 17 gr pada trimester kedua dan Fe 9 mg. Sedangkan pada trimester ketiga penambahan kebutuhan energi masih sama yakni 300 kalori, protein 17gr, dan peningkatan Fe 13 mg. Serta dianjurkan mengkonsumsi asam folat 600 mcg, Vitamin B12 +0,2 ug, Ca +150 mg, dan serat >25 gr per hari selama kehamilan Damayanti et al., 2017. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi selama kehamilan, ibu dapat mengalami kekurangan asupan gizi yang apabila dibiarkan dapat mengakibatkan janin didalam kandungan lahir dengan manifestasi tubuh stunting. Penelitian terkait pemenuhan nutrisi janin dilakukan oleh Dhaded et al., 2020 Penelitian tersebut dilakukan pada komunitas miskin sumber daya di India dan Pakistan dengan memberikan suplemen zat besi-folat pada wanita usia subur dan ibu hamil pada trimester pertama. Hasil penelitian menunjukkan pemenuhan nutrisi prakonsepsi 3 bulan sebelum konsepsi dan pada trimester pertama dikaitkan dengan penurunan stunting sebanyak 44%. Hasil tersebut cukup rendah mengingat pemberian suplemen telah dilakukan 3 bulan sebelum konsepsi. Hal tersebut bisa saja terjadi karena rendahnya kemampuan ibu memperoleh makanan yang cukup gizi akibat keterbatasan ekonomi dan sumber daya. Sehingga, kebutuhan nutrisi janin hanya diperoleh dari suplemen zat besi-folat yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Akibatnya, hanya 44% ibu yang diberikan suplemen zat besi-folat mulai dari 3 bulan prakonsepsi sampai trimester pertama yang melahirkan anak tanpa stunting, dan 56% lainnya memiliki anak stunting. Pada penelitian yang sama, Dhaded et al., 2020 menemukan bahwa pertumbuhan janin dapat dicapai dengan peningkatan asupan energi, protein, dan nutrisi mikro dari sebelum dimulainya trimester kedua kehamilan tanpa memerlukan intervensi lain p 0,05. Penelitian ini, hanya mengkaji riwayat KEK pada ibu hamil selama trimester 3, sedangkan riwayat di trimester sebelumnya tidak dikaji. Padahal, status gizi ibu hamil setiap trimester saling mempengaruhi. Sebelum memasuki trimester baru, tubuh ibu akan menyimpan cadangan energi untuk digunakan pada trimester selanjutnya. Sehingga, apabila ibu mengalami KEK pada trimester sebelumnya akan mengakibatkan ibu beresiko mengalami KEK di trimester selanjutnya, terlebih apabila kondisi tersebut tidak segera dikaji dan diperbaiki maka akan mengakibatkan ketidak cukupan energi yang penting untuk metabolisme dan pertumbuhan janin didalam kandungan. Dimana pada trimester ketiga, janin tumbuh menjadi dua kali panjang sebelumnya dan berat badan yang bertambah kurang lebih lima kali dari berat semula Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Oleh sebab itu, kekurangan energi kronis selama Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1770 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 trimester tiga akan sangat berpengaruh dengan status gizi bayi terutama PB/U dan dapat mengakibatkan anak mengalami stunting. Faktor Pemberian IMD Setelah melalui 270 hari didalam kandungan, janin akan keluar dari rahim ibu melalui proses persalinan. Sesaat setelah proses tersebut, bayi harus segera diberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tubuh bayi yang diberikan melalui IMD. Pemberian yang dilakukan sedini mungkin, membantu bayi mendapatkan kolostrum yakni baik untuk daya tahan tubuh dan asupan gizi, sehingga anak terhindar dari kejadian stunting. Menurut Angelina, Perdana dan Humairoh 2018 menunjukkan pemberian inisiasi menyusui dini pada balita usia 6-23 bulan berhubungan dengan kejadian stunting p = 0,010 dan OR 3,308 yang artinya anak tidak diberikan inisiasi menyusui dini akan berisiko 3,308 kali mengalami stunting dibandingkan anak yang diberi inisiasi menyusui dini. Begitu pula, Sentana, dan Hasan 2018 penelitian dengan OR sebesar 8,157 Demikian pula, Batiro et al., 2017 di Ethiopia Selatan yang menunjukkan pemberian inisiasi menyusui dini yang terlambat atau setelah satu jam kelahiran merupakan faktor determinan stunting dengan OR=5,16. Penelitian berbeda, Ahmad et al., 2018 di kota Aceh Indonesia yang menunjukkan inisiasi menyusui dini tidak berkaitan dengan kejadian stunting 0,530. Meskipun demikian, pada penelitian Ahmad et al., 2018 proporsi anak yang diberikan IMD namun tetap mengalami stunting sebanyak 47 26,2% dan anak yang tidak diberikan IMD dan mengalami stunting sebanyak 62 29,1%. Hal ini menunjukkan, meskipun hasil analisa data menyatakan tidak ada hubungan IMD dengan kejadian stunting, namun sebagian besar responden yang tidak memperoleh IMD mengalami stunting. Dengan demikian, pemberian IMD diidentifikasi sebagai faktor pemberian nutrisi yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang. Pemberian ASI Eksklusif ASI merupakan makanan ideal yang mengandung asupan protein, membantu mempertahankan pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan bayi, serta memberikan perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal yang dapat menyebabkan malnutrisi kronis Koletzko, 2015. Pemberian ASI sebaiknya dimulai dari sejak lahir sampai usia 6 bulan. Hal ini didukung oleh penelitian Islam et al., 2018 India yang menunjukkan pemberian ASI eksklusif perlu ditingkatkan pada anak-anak, karena anak dapat mengalami peningkatan stunting sebanyak 24% pada usia 24 bulan yang dimulai sejak dilahirkan. Hasil review juga mengidentifikasi 5 penelitian yang menunjukkan pemberian ASI Eksklusif berhubungan dengan stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Julianti 2020 di Indonesia menunjukkan terdapat hubungan signifikan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting p= OR= yang artinya anak yang diberikan ASI Eksklusif memiliki 2,28 kali kemungkinan untuk tidak mengalami stunting. Demikian pula, Dewi 2015, Lailatul & Ni’mah., 2015, Nugroho, 2016, dengan OR=3,7. Begitupun, Pandey & Singh 2016 di Distrik India Tengah menunjukkan tingginya kejadian malnutrisi terkait pemberian asi eksklusif dengan OR 2,50-6,53. Hasil review ini juga mengidentifikasi tiga penelitian yang tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya Ahmad et al., 2018; Komaruddin et al., 2019; Fekadu et al., 2015. Perbedaan hasil penelitian terkait pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting dikarenakan pada penelitian Komaruddin et al., 2019 sampel penelitian yang diberikan ASI eksklusif memiliki jumlah sampel kecil, meskipun pada hasil penelitian ini tidak ada kaitan dengan kejadia stunting, namun pada penelitian ini ditemukan bukti bahwa menyusui dikaitkan dengan penambahan berat badan dan rendahnya morbiditas stunting pada anak dan memiliki peran dalam pencegahan malnutrisi. Begitupun, Ahmad et al., 2018 yang menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif mengalami stunting sebanyak 67 28% anak dan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 42 27,6% anak, meskipun Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1771 jumlah anak yang diberi ASI eksklusif lebih banyak yang mengalami stunting namun secara presentasi hanya terdapat perbedaan 0,4% pada anak stunting yang diberikan ASI eksklusif dan tidak eksklusif. Hasil review ini juga mengidentifikasi hubungan antara frekuensi menyusui dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Penelitian Terati et al., 2018 di Indonesia menemukan ada hubungan antara frekuensi menyusui dengan stunting p=0,002. Demikian pula, Tian et al., 2019 di Distrik Changsha China menemukan terhentinya pemberian ASI eksklusif setelah 3 bulan pemberian dan pemberian ASI eksklusif selama 3 bulan dan dilanjutkan pemberian susu formula dan makan pada memiliki tingkat kejadian stunting yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada saat usia 0-6 bulan ASI mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi. Sehingga, pemberian susu formula di usia 3 bulan akan mengurangi perlindungan yang didapat dari ASI eksklusif dan seluruh manfaat ASI yang telah diperoleh sebelumnya. Cetthakrikul et al., 2018 di Thailand menunjukkan, anak yang diberikan ASI eksklusif berkepanjangan yakni lebih dari 12 bulan pada keluarga miskin menjadi penyebab terjadinya stunting. Penelitian dilakukan pada komunitas keluarga miskin, dimana keluarga memiliki keterbatasan perekonomian, sehingga ibu kesulitan memberikan nutrisi yang sesuai kebutuhan anak. Oleh sebab itu, ibu hanya memberikan ASI saja selama 12 bulan. Sedangkan, ASI yang diberikan ibu juga kemungkinan tidak memiliki asupan gizi yang cukup. Pemberian ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi anak sampai usia 6 bulan. Sedangkan setelah memasuki usia 6 bulan lebih, ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga perlu diberikan makanan tambahan, dengan tetap diberikan ASI hingga usia 24 bulan atau lebih. Oleh sebab itu, pemberian ASI yang berkepanjangan dapat menyebabkan anak mengalami stunting. Hal ini sesuai dengan Julianti 2020 di Indonesia yang menunjukkan, anak yang tidak diberi ASI Eksklusif memiliki 40,9% risiko stunting. Begitupun, Mihrete 2018 di wiliyah Somali State, Ethiopia menunjukkan frekuensi menyusui pada bayi dapat mengurangi risiko bayi stunting. Sehingga, pemberian ASI eksklusif diidentifikasi sebagai salah satu faktor pemberian nutrisi yang berhubungan dengan kejadian stunting. Untuk itu, sebagai upaya pencegahan dan penanganan kondisi tersebut, penting untuk memperhatikan pemberian ASI sesuai dengan indikasi eksklusif. Pemberian MP-ASI Berdasarkan hasil review, pemberian ASI hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi sampai usia 6 bulan, sehingga pada bayi usia 6 bulan-24 bulan perlu dilakukan pemberian Makanan Pendamping ASI untuk mencukupi kebutuhan gizi anak. Hasil penelitian Bukusuba et al., 2017 di Uganda menunjukkan praktik pemberian makan pada bayi dan anak-anak atau infant and young child feeding IYCF yang kurang tepat p0,05. Sama seperti, Khasanah et al., 2016 di Indonesia menunjukkan waktu pertama kali pemberian makanan pendamping ASI berhubungan signifikan dengan kejadian stunting OR=2,867. Demikian pula, Mihrete 2018 di wiliyah Somali State, Ethiopia Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1772 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 menunjukkan pengenalan Makanan Pendamping ASI sebelum 6 bulan signifikan terhadap stunting. Pemberian makanan penamping ASI terlalu dini dapat menyebakan anak tidak memperoleh manfaat ASI eksklusif. Pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini yakni pemberian makan sebelum usia anak lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan anak cepat merasa kenyang, namun kebutuhan asupan gizi yang seharusnya belum terpenuhi. Selain itu, anak akan malas untuk menyusu dan menyebabkan anak tidak memperoleh ASI. Padahal, ASI memiliki komposisi gizi yang lengkap, sehingga dapat membantu bayi terhindar dari malnutrisi, merangsang kecerdasan emosional dan fungsi otak maskimal Astutik, 2014; Maryunani, 2012. Hasil review ini juga mengidentifikasi, pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak memperhatikan frekuensi, tekstur, dan waktu pemberian makanan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini terlihat dari penelitian Nurdin et al., 2019 di Indonesia yang menunjukkan pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak memperhatikan frekuensi memiliki OR=3,90. Demikian pula, Pandey & Singh 2016 di Distrik India Tengah yang menunjukkan tingginya kejadian malnutrisi akibat kurangnya pemberian makan semi padat, dan pemberian Makanan Pendamping yang jarang dengan OR=3,01-8,39. Demikian pula, Ahmad et al., 2018 di Indonesia menunjukkan Pemberian makanan tambahan yang tepat waktu dan beragam berkaitan dengan kejadian stunting P=0,015. Selain itu, hasil review juga mengidentifikasi pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memperhatikan variasi/keragaman makanan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Balalian et al., 2017 di Armenia, yang menunjukkan Anak usia 6-24 bulan yang diberikan Makanan Pendamping yang beragam memiliki peluang 72% lebih rendah untuk menjadi stunting p 3 kali dalam seminggu bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting. Simpulan Faktor ibu yaitu pendidikan ibu, riwayat KEK, pola pemberian MPASI, dan pola asuh merupakan faktor risiko kejadian Asia has >50% of the global burden of low birth weight LBW. The objective was to determine the extent to which maternal nutrition interventions commenced before conception or in the 1st trimester improved fetal growth in this region. This was a secondary analysis of combined newborn anthropometric data for the South Asian sites India and Pakistan in the Women First Preconception Maternal Nutrition Trial. Participants were 972 newborn of mothers who were poor, rural, unselected on basis of nutritional status, and had been randomized to receive a daily lipid-based micronutrient supplement commencing ≥3 months prior to conception Arm 1, in the 1st trimester Arm 2, or not at all Arm 3. An additional protein-energy supplement was provided if BMIQianling TianXiao GaoTingting ShaYan YanObjective This study was aimed to examine the effect of feeding patterns on growth and nutritional status of children aged 0~24 months. Methods We conducted a cohort study with an initial sample of 927 children. Considering the follow-up losses, 903, 897, 895, 897, 883, 827 and 750 children were followed up at 1, 3, 6, 8, 12, 18 and 24 months, respectively. Children were grouped according to exclusive breastfeeding EBF duration in the first 6 months 1 never EBF; 2 EBF ≤ 3 months EBF ≤ 3 months and stopped BF after 3 months or EBF ≤ 3 months and BF = 6 months or EBF ≤ 3 months and BF after 3 months, had formula and/or solids; 3 EBF for 3 ~ 6 months BF 70% of the children were not meeting the minimum acceptable diet, and most of the women did not improve their diet during pregnancy. Inadequate nutrition during the first 1000 days is highly prevalent in Cambodia. A comprehensive national Mother, Infant and Young Child Nutrition strategy needs to be developed and operationalized to improve feeding practices of Cambodian women and SD SitumeangEtti Sudaryati Mira JumirahStunting is a chronic nutritional problem due to insufficient intake for a long time, in Indonesia the prevalence is high. The World Health Organization WHO classifies if the length/height z score is below −2 SD. The purpose of this study was to analyze the correlation between parenting, and nutrient intake energy and protein with stunting in children aged 24-59 years. This study used a cross sectional design with a sample of 117 children. Data collection was carried out with questionnaire instruments for parenting, and 24-hour food recall for nutritional intake. Data stunting was performed by comparing the height of the children measured by the WHO growth standards. Correlation analysis using Pearson correlation analysis. The results showed that the prevalence of stunting for children aged 24-59 months was There was a significant correlation between parenting with stunting r = and p = energy intake with stunting r = and p = and protein intake with stunting r = and p = It is recommended that the Ministry of Health improve nutrition surveillance programs, and encourage the community to monitor the growth of children under five years every month in health services.

pemberian nutrisi pada sel saraf terjadi melalui